Refleksi tentang Kepemimpinan Religius dan Kerja Tim dalam Tarekat/Kongregasi

Kepemimpinan religius pertama-tama bukan soal kecerdasan intelektual tetapi tentangan kematangan rohani.  Demikianlah poin penting yang disampaikan oleh Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC dalam pembekalan singkat untuk Tim tugas kepemimpinan Sr. Monika Lita Hasanah sebagai Provinsial Ursulin Indonesia, yang dilaksanakan pada 4 Juni 2025 di Biara Provinsialat Ursulin Indonesia, Jl. Supratman 1 Bandung.

Berikut ini adalah ringkasan sharing Mgr. Antonius Subianto,OSC

Menjadi pemimpin dalam Gereja, terutama dalam ordo atau kongregasi religius, bukan sekadar soal kecerdasan intelektual, tetapi tentang kematangan rohani. Banyak kegagalan dalam kepemimpinan Gereja maupun Yayasan terjadi karena lebih mengutamakan orang yang pintar secara akademik ketimbang mereka yang memiliki kedalaman spiritual. Kecerdasan intelektual itu penting, tetapi hanya sebagai pelengkap; bukan fondasi utama.

Yesus sendiri menunjukkan bahwa kekuatan rohani mampu mengatasi kategori kecerdasan formal. Ia menghadapi para ahli Taurat dan orang Farisi bukan dengan kecerdasan akademik, tetapi dengan kedalaman spiritual dan keutamaan hidup. Maka, sejak awal, panggilan religius menuntut bukan hanya praktek keagamaan, tapi hidup religius yang utuh. Seseorang bisa rajin menjalankan ritual agama, tetapi belum tentu memiliki kehidupan batin yang dalam. Namun, orang yang memiliki kedalaman batin sejati pasti akan mewujudkannya dalam praktik hidupnya.

Dalam konteks ini, habitus sangat penting. Disiplin seperti bangun pagi dan berdoa bukan beban, melainkan bagian dari sukacita hidup religius. Kepemimpinan yang berhasil bukan hanya soal jabatan, tetapi tentang memberi teladan. Keteladanan itu menyatukan antara perkataan dan perbuatan, dan itulah yang membawa berkat bagi sesama.

Martabat dan jabatan tidak boleh dipisahkan. Seperti nabi Amos yang awalnya pemungut buah ara, setelah dipanggil Tuhan, ia segera menyesuaikan hidupnya dengan martabat kenabian. Demikian pula kita. Ketika diberi tugas, kita perlu menyesuaikan diri, bukan menolaknya. Tugas bukan soal pantas atau tidak pantas; jika kita melayani dengan hati, Tuhan akan melengkapinya.

Dalam tim kepemimpinan, prinsip kolaborasi dan relasi yang sehat harus diutamakan. Kerja tim bukan sekadar fungsional, tetapi relasional. Banyak tim gagal bukan karena kekurangan orang pintar, tapi karena relasi di dalamnya rapuh. Tim yang kuat adalah tim yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Jangan pernah menjelekkan pemimpin sebelumnya; setiap keputusan masa lalu pasti diambil dalam konteks yang berbeda. Kita hormati mereka dan lanjutkan dengan bijaksana.

Kita juga perlu membina formasi diri, bukan hanya rutinitas. Formasi bukan soal program, tapi pembentukan habitus dan karakter. Teladan adalah bagian dari formasi. Pemimpin yang baik bukan hanya memberi tugas, tapi membentuk komunitas. Maka, keputusan-keputusan penting harus diambil dengan mendengar banyak pihak, tidak hanya berdasarkan pandangan sepihak.

Dalam pelayanan Gereja, kita tidak menolak tugas. Kita terima, lalu kita bawa dalam doa, percaya bahwa Tuhan akan memberi kekuatan. Bahkan ketika merasa tidak mampu, kita belajar menyerahkan diri kepada Tuhan. Tugas kepemimpinan adalah jalan pertobatan; tidak ada yang sempurna. Tapi selama kita mau dibentuk, komunitas akan tumbuh.

Sebagai penutup, kepemimpinan religius adalah panggilan untuk menjadi berkat, bukan penguasa. Panggilan ini tidak hanya menuntut integritas pribadi, tapi juga semangat pelayanan bersama. Maka, mari kita rawat martabat panggilan kita, jaga semangat tim, dan terus berjuang untuk menjadi pemimpin yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijak dan berbelarasa.